Your Ad Here
Ksatria Petir

Cari!!!

Wednesday, August 24, 2005

Catatan Menjelang Ajal

Pagi Menjelang Mati
Aku masih bisa menghirup udara dengan bebas, sampai kamu datang dan meludahiku dengan kata-kata manismu. Aku juga masih bisa melihat dengan jelas semua yang ada di sekitarku sejak ku buka kelopak mataku hingga kamu datang dan menutup pandangku. Sayang, aku tidak pernah menyesali semua, aku juga tak pernah marah, karena di hatiku masih berkuasa cinta.
Pagi ini aku masih harus menjual suaraku, setidaknya aku harus punya cukup tenaga untuk menaiki tangga baja jembatan penyebrangan. Dan yang paling panting aku harus punya cukup tenaga untuk lompat dan membanting badanku ke aspal.

Siang Menjelang Mati
Suaraku lumayan laku terjual, walaupun hasilnya tak sebanyak dua minggu lalu, tapi ini semua sudah cukup untuk mengisi tenaga, bahkan masih lebih.
Siang ini adalah siang yang baik buatku, penghasilanku hari ini adalah yang terbaik dari empat belas hari terakhir.
Tuhan masih baik padaku, padahal aku akan mengingkariNya lagi sore ini. Aku sempat terpikir untuk membatalkan niatku menjemput ajal. Tapi, masalahku terlalu berat untuk aku tahan sendiri. Aku sering mendengar bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Aku juga sudah sering kali merenungi kata-kata itu, tapi nampaknya aku terlalu lemah untuk menghadapi ujian yang Dia turunkan padaku.

3 Jam Menjelang Mati
Aku baru saja selesai mengisi perutku diwarung pinggir jalan yang sebetulnya tidak sehat. Nasi ditemani tempe, perkedel, kerang dan sambal terasi menjadi penghuni terakhir perutku, ditambah lagi segelas kopi yang sedang kuhabiskan sambil melepas lelah dan melamun menatap mobil-mobil mewah yang lewat.
Baru saja akan ku raih teguk terakhir dari kopi ku, tiba-tiba seseorang yang lewat menabrakku. Gelasku terjatuh, dan kopi tegukan terakhirku meresap kedalam tanah. Aku marah, tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk ekspresikan marahku, tak ada nyali mungkin. Hanya geraman kecil yang tidak terlalu diperhatikan manusia-manusia di sekitarku.

1½ Jam Menjelang Mati
Bis AC jurusan Blok M sangat sepi, suaraku terbuang sia-sia. Hanya ada sembilan orang di dalam bis. Tempat terakhir aku melepas suara, mungkin sebelum Blok M aku sudah harus menjemput ajalku yang telah ku nanti sepanjang hari ini.
Aku masih duduk di deretan kursi belakang bis terakhir ini, merenungi dosa-dosa yang telah ku lewati tanpa tertebus. Ditambah dosa besar yang akan kulakukan sebentar lagi. Maafkan aku ya Tuhan, aku berniat menjemput ajal sebelum dia menjemputku. Tapi aku yakin ya Tuhan, bahwa semua itu tak pernah lepas dari kehendakmu.
Tak sadar air mata menngalir melalui pipiku, dan orang-orang disekitarku mulai kelihatan tidak nyaman dengan keberadaanku disitu. Mungkin aku dianggapnya orang aneh. Tak menunggu lama, aku segera turun sesaat bis itu berhenti.

60 Menit Menjelang Mati
Sebuah halte kumuh di depan gedung mewah, dan tepat di seberangnya, di tengah dua jalur, sebuah halte lumayan mewah dijaga ketat. Aku lihat orang-orang di dalamnya tidak saling peduli satu sama lain.
Aku duduk di halte kumuh depan gedung mewah itu. Aku kilas balik semua masalahku yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Aku akan terbebas dari masalah-masalahku. Tak perlu ada yang kusedihkan dan bersedih untukku, karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku naik ke jembatan baja yang tak jauh dari halte tempatku duduk tadi. Aku sudah bersiap untuk lompat, tekadku bulat, tak akan ada yang bisa menghalangiku.

30 Menit Menjelang Mati
Aku sudah di atas jembatan siap untuk menyambut ajal, tapi ketika aku memegang pagar pengamannya, tanganku tiba-tiba menjadi dingin. Suara hatiku terdengar jelas sekali. “Apakah kau yakin ingin menyambut ajalmu sebelum takdir? Tahukah kau bahwa ini dosa besar? Jangan lakukan?”. Akupun melepaskan peganganku pada pagar pengaman jembatan itu. Lalu duduk bersandar disebelah gitarku. “Aku yakin, akan meninggalkan masalah-masalahku dengan menjemput ajal lebih dahulu. Aku tahu ini dosa besar, tapi ini harus kulakukan. Aku kemudian bangun lagi dan bersiap lompat untuk yang kedua kalinya. Aku pegang lagi pagar pengaman jembatan. Tanganku kembali dingin dan sekarang tambah gemetar. Suara hatiku terdengar lagi, “Lakukanlah. Apakah kau cukup punya nyali untuk lompat? Lompatlah, raihlah ajalmu, buktikan kebodohan dan ketolololanmu.” Aku agak gentar, tapi aku yakin inilah saatnya untuk menghentikan hidupku yang bermasalah. Aku ambil ancang-ancang lalu lompat dengan gitar ditanganku. “Aku tidak Bodooooooooooooooooohhhhh…………………………………………….”

Rizki Pradana
26 January, 2005
Jakarta.

1 comment:

perempuanpencintahujan said...

Good idea! Ada apa dengan kematian mas Rizky?

ps: I'm not smoking dear! Ha ha ha...i was smoking but not when I'm pregnant! thx anyway.