Jelajah rasa menanjak dalam pergulatan hati....
aku senantiasa terus memandangi sakit yang mataku rasakan...
tak dapat hindari dan aku berdarah...
sampai peluhku menggantikan darah...
Kekerasan jiwa yang penuh dengki,
membuatku nampak bodoh dalam ketidakadilan.
Aku manusia yang mengharapkan keadilan yang semu, sehingga dapat kupuaskan segala birahi.
Bodoh... akan ku raih keadilan walau semu dan bau...
entah darah atau peluh yang akan membuatku tertawa terpuaskan dalam keadilan.
mati saja nampaknya cukup adil buatku...
daripada......
!
Cari!!!
Monday, November 21, 2005
Darah dan Peluh
Posted by Ksatria Petir at 9:38 AM 2 comments
Tuesday, November 15, 2005
Musikku....
Saat sangkala bertiup riuh, aku terus melangkah dalam pedih rasa, dan getir jiwa.
Saat dentam hip-hop mendesak di dada, tubuhku tak dapat berhenti untuk terus saling mematahkan tulang-tulangku yang sampai saat ini tak pernah patah...
mungkin Tuhan sayang padaku, tapi Iblis telah menangkapku dalam denyut alunan musik yang membuatku......
Posted by Ksatria Petir at 9:58 PM 0 comments
Labels: Puisi
Saturday, November 12, 2005
Flying through the broken heart
When the sun comes down and heaten my heart, I will fly and catch you with my mind.
Just closed your whining eyes and hug me tight.
Don’t give me the smile that u don’t want to show me.
Just hug me tight.
My Love, we will never meet again, if you don’t try to close your mouth by now.
Okay, now you can kiss me, but kiss me through my soul.
And if you can’t kiss me through my soul, we will never meet again.
Don’t kill me, I loved you since the first time, even if you killed me at the first time, I still in love with you.
But now don’t kill me, ‘cause you are already killing me for many times. So don’t do it again.
Posted by Ksatria Petir at 11:35 PM 2 comments
Selasa 5 april 2005
Seharian ini saya merasa berat di punggung saya, berat sekali seperti ada beban yang sangat berat. Ternyata ada seorang “nenek-nenek” yang sudah saya lihat sejak kemarin malamnya di dalam studio tari tempat saya latihan. Mukanya tua, tapi tampak cantik, tidak sedikitpun ada garis kejahatan di mukanya. Saya senang dengan hal itu, tapi saya menjadi tidak senang ketika dia mengganggu saya dengan menggelendot di punggung saya, yang menyebabkan saya merasakan beban berat yang cukup mengganggu. Tapi anehnya ketika saya menari, gerakan saya menjadi lebih baik. Walau pada saat itu kondisi fisik saya kurang bagus alias ngantuk plus lemes. Tadi pagi setelah kuliah Tari Jawa selesai, saya berdiskusi kepada seorang dosen saya yang cukup peka terhadap hal-hal seperti itu. Diapun mengatakan hal yang sama, padahal saya belum menceritakan apa yang saya alami. Taak lama setelah diskusi, saya kembali ke dalam studio untuk melanjutkan kuliah selanjutnya. Tapi apa daya, mata saya tidak kuat, punggung saya terasa sakit dan berat. Tak lama saya mendapat informasi kalau yang menggelendot di punggung saya gak cuma satu si nenek tadi, tapi ada tiga. Segera setelah mendapat informasi, saya segera melakukan autohealing. Dan satu dari jin yang membandel tadi, saya tebas dengan pedang saya. Entah dia mati atau sekedar terluka. Karena dia tidak mau keluar dari tubuh saya, “sorry jin, terpaksa.”
Dua dari jin yang mengelendot di punggung, saya angkat dan bersihkan. Kecuali si nenek. Karena saya tahu dia punya niatan baik. Walau pada akhirnya saya harus rela menahan berat dipunggung sepanjang hari.
Hari kian larut dan semakin gelap. Saya harus mengantar Lina (pacar saya) sampai depan metropolitan mall di bekasi. Sesudah lina naik mobil dari depan metropolitan mall, saya segera berjalan berbalik arah menuju depan gerbang tol bekasi barat dengan beban di punggung. Baru saja kira-kira 20 meter saya berjalan, saya melihat seorang anak muda seumuran Vincent, dengan beberapa pasang sendal dan sepatu di tangan kanan, tangan kiri memegang ulu hatinya, mukanya meringis dan yang paling saya tidak tahan melihat beban dipunggungnya yang berisi 45 pasang sepatu dan sendal. Awalnya saya lewati anak muda itu karena dia berjalan sangat pelan dan agak sempoyongan. Tapi ketika sudah melewati dia sesekali saya menengok ke belakang mencoba untuk melihat dia. Saya berhenti, dan saya tunggu hingga dia mendekat kepada saya. Kemudian saya putuskan untuk menghampiri anak itu dan bertanya. Pertanyaan pertama saya adalah, “udah makan belum luh? Kalo belum yuk kita makan bareng-bareng.” Tapi kemudian dia bilang, “Udah kak, barusan dikasih pedagang gorangan nasi padang.” Saya semakin penasaran, “Trus, perut lu kenapa lu pegangin terus?” “maag saya kambuh kak.” Saya tanya lagi, “Sekarang lu mau kemana?” dia bilang, “saya mau pulang ke Cianjur, tapi saya gak punya ongkos, saya pengen jual ini sendal sepasang aja….. untuk ongkos pulang ke Cianjur.” Jawab anak itu sambil meneteskan air mata. Karena saya lihat dia sudah terlalu lelah maka saya ajak dia untuk istirahat sejenak, menumpang di pos satpam sambil meneruskan pembicaraan. Ketika sudah istirahat di pos satpam netropolitan mall, maka mulailah banyak orang yang memperhatikan orang itu dan membantu saya untuk menolong anak itu. Ketika orang kumpul dan bertanya kenapa, kepada saya, saya cuma bilang “ Ini orang lagi kesusahan, udah dua hari dia dagang sendal di daerah Cikarang hingga Bekasi, tapi tak satupun terjual, dan ongkos yang diberikan oleh bosnya, selembar uang sepuluh ribu, sudah habis untuk makan dan ongkos. Sekarang dia butuh duit untuk pulang ke Cianjur, dia cuma ingin menjual sendal yang di bawanya satu pasang saja, yang penting ada ongkos pulang.” Setelah saya bicara lalu ibu-ibu dengan pakaian biasa saja, maju dan memberikan uang 6 ribu kepada anak itu, kemudian dilanjutkan dengan tukang ojek-tukang ojek yang ada di situ, ada yang memberi 1000 rupiah sampai 7000 rupiah. Maklum sama-sama orang susah. Sambil dia di urut oleh salah satu tukang ojek yang saya kira cukup mengerti masalah urut mengurut, dia berucap terima kasih tak henti-henti kepada setiap orang yang memberikan pertolongan padanya. Setelah agak selesai di urut, saya ingat bungkusan yang diberikan vincent kepada saya, sebuah bungkusan yang berisi bubuk berwarna hitam, yang saya tahu itu berguna untuk penyeimbang energi tubuh. Saya berikan padanya untuk di kantongi, sambil berkata,”Ini bukan jimat!! Ini cuma media, lu tetep berdoa ke Allah. Jangan tanya untuk apa. Udah kantongin, jangan di ilangin. Gak lama dia bisa berdiri tegak dan tersenyum. Entah pengaruh bubuk yang diberikan Vincent, atau hasil dari urut-mengurut tukang ojek tsb.
Sambil menunggu macet berkurang, saya ajak ngobrol anak itu. Tentang siapa dia, dimana keluarganya, dan kenapa dia nekat. Lalu anak itu mengeluarkan tas pinggangnya untuk mengambil minum. Dan tak sengaja saya lihat satu strip anti biotik, satu strip paracetamol, danbeberapa obat yang saya tidak sempat baca. Saya tanya, apakah dia sedang sakit,dan dia jawab iya. Lalu saya tanya kenapa dia nekat, dia menjawab, “Kalau tidak seperti ini dua adik saya tidak sekolah, dan nenek saya tidak ada yang urus. Ibu-bapak saya sudah tidak ada. Jadi mau gak mau.saya harus usaha.” Saya timpali omongannya, “Trus kalo sekarang lu paksain diri, trus lo mati gak ada yang nolongin, siap lagi yang bakal urus 2 adek dan nenek lu?” langsung dia istighfar.
Tak lama ngobrol saya pamit pulang kepada anak itu yang saya rekomendasikan kepada satpam untuk diperbolehkan menginap semalam di posnya, satpam pun menyetujuinya. Saat salaman, dia mencium tangan saya seraya mengucap terima kasih. Saya cukup terharu.
Dalam perjalanan pulang di bus mayasari 9B jurusan Bekasi-Kp. Rambutan, saya merenungi apa yang saya rasakan selama seharian ternyata berhubungan dengan apa yang baru saja saya alami. Saya ingat beban di punggung saya, tapi kok sudah tidak terasa. Saya kemudian menyimpulkan bahwa “nenek” yang gelendotan di punggung saya telah memberikan tanda bahwa ada yang memiliki beban lebih berat di punggungnya dan membutuhkan pertolongan. Alhamdulillah, ternyata intuisi saya benar, bahwa nenek itu mempunyai niat baik. Dan setelah saya ingat lagi, beban di punggung saya hilang ketka saya menepukan tangan saya kepada pundak si pedagang sendal tadi.
Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala CiptaanNya!!!
Alhamdulillah saya masih diberikan keadaan lebih baik dari dia!!!!
Ini adalah Petunjuk bagi saya untuk selalu melihat kebawah jangan selalu melihat ke atas.
Ini adalah pelajaran bagi saya dan bagi semua yang baca.
Posted by Ksatria Petir at 11:32 PM 0 comments
Monday, September 19, 2005
Hidup ini Indah
matahari menyinari seisi bumi,
seperti Engkau menyinari ruh di dalam jasad ku ini selamanya.
seperti hujan kau basahi jiwa yang kering.
Hidup ini indah bila aku selalu ada di sisiMu setiap waktu hingga aku hembuskan nafas yang terakhir, dan kita pun bertemu.
Kau, bagai udara yang ku hirup setiap saat,
Engkaulah darah yang mengalir dalam dalam nadiku.
Hidup ini indah bila aku selalu ada di sisimu setiap waktu hingga aku hembuskan nafas yang terakhir, dan kita pun bertemu.
by : ahmad dhani
Posted by Ksatria Petir at 2:14 PM 2 comments
Rajaku sendiri
Aku adalah orang yang nuraninya telah mati.
Kata orang-orang beragama.
Aku adalah orang yang telah ternoda.
Kata orang-orang pergi ke gereja.
Aku adalah orang yang tak terkendali.
kata orang-orang yang meditasi.
Aku adalah raja bagi diriku sendiri,
Menurut orang-orang yang gila.
Posted by Ksatria Petir at 2:08 PM 0 comments
Saturday, September 03, 2005
Wednesday, August 24, 2005
Belenggu
Aku terbaring di atas pembaringan ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak ayah pulang dengan membawa seribu masalah yang membuat keluarga di rumah semakin terhimpit. Ibu yang sudah dalam keadaan tertekan, semakin tertekan, adikku sudah tidak sekolah. Kami sekeluarga tak punya apa-apa lagi, semuanya menjadi minus. Kepulangan ayah sangat membawa petaka. Entah dari mana dia selama ini. Tapi yang pasti dia sudah tidak kami harapkan untuk pulang. Setelah kepulangannya, Ayah tak pernah berhenti meminta uang dari ibu yang sehari-hari mencuci dan menyetrika baju orang lain.
Suatu malam akhir bulan Juli sepuluh tahun lalu.
Aku mabuk, saat melihat ayah memukuli ibu seperti orang kesetanan, rintihan dan teriakan ibu sudah tak terdengar lagi. Tangan-tangan ayah tak henti menghantam kepala, muka, dada, rahim, punggung sedangkan kakinya semakin gila menghantam perut ibu saat ibu tersungkur ke lantai tanah dalam rumah kami. Aku memang mabuk, tapi aku tak rela orang yang melahirkanku di pukuli oleh orang yang dicintainya hidup dan mati. Kuambil botol kecap yang ada di meja, lalu kuhantamkan ke arah kepala ayah, tapi tiba-tiba, kakiku tersangkut sesuatu, aku jatuh dan ayah berhasil menghindar, sedangkan botol itu nyasar ke kepala ibu yang sedang merintih tak berdaya di atas tanah. Botol itu pecah.
Adikku terbangun dari tidurnya, ayah sudah menghilang entah kemana. Tak ada yang bisa kukatakan sama sekali saat orang-orang kampung datang dan membawaku pergi entah kemana. Aku tak bisa memikirkan apa-apa saat itu selain ibu yang terbaring dengan kepala penuh darah dan kecap, disekitarnya penuh beling botol kecap. Aku tidak pernah tahu ibu masih bernafas atau tidak. Aku juga tidak pernah melihat adikku lagi.
Sudah bertahun-tahun aku terbaring di sini tanpa ada orang yang kukenal. Yang kuhapal cuma orang yang datang dan pergi mengantarkanku makanan kedalam ruangan ini. Tuhanpun sudah tidak bisa kusembah lagi. Aku sekarang tidak berdaya. Tuhan hanya bisa kusebut-sebut. Tak pernah bisa ku menyembahnya. Badanku suci atau najispun aku tidak tahu, dan aku tidak peduli lagi. Sesekali terbayang wajah ayah terkutuk itu tapi kemudian berganti dengan wajah ibu yang terakhir kali kulihat. Penuh darah, kecap dan beling botol kecap. Dan yang kuingat tentang adikku adalah airmatanya saat melihat ibu yang terhantam botol kecap, mukanya marah, tatapan matanya membuatku takut. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat.
Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat cahaya matahari masuk menembus kamarku. Tak ada yang mengelap keringatku. Aku tidak tahu kenapa orang-orang meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Kakiku di belenggu oleh sebuah besi berkarat yang menyatu dengan tempat tidur ini. Aku dibiarkan dalam keadaan yang tidak manusiawi. Oleh manusia.
Rizki Pradana
2004-2005
Posted by Ksatria Petir at 12:11 PM 0 comments
Catatan Menjelang Ajal II
Jakarta, 7 Desember 1958
Hari ini aku berumur 25 tahun, dan pada hari ini pula aku melamar Ros untuk menjadi istriku.. Keluarga besar orang tuaku datang bersama barang-barang seserahan yang sudah ku persiapkan selama lebih dari satu minggu. Dan waktu lebih dari dua bulan untuk meyakinkan orang tuaku bahwa aku benar-benar ingin menikahi Ros, wanita yang paling aku cintai.
Jam 11.45 tepat Ros diizinkan oleh ayahnya untuk menerima lamaranku. Memang untuk orang tua Ros aku sudah melakukan penjajakan lebih dulu, jadi ketika lamaran dilaksanakan aku sudah tahu bahwa keluarga Ros akan menerima lamaranku. Alhasil, aku bertunangan dengan Ros untuk menikah 2 bulan lagi.
Jakarta, 8 Februari 1959
Hari ini aku menikah dengan Ros. Acaranya berlangsung meriah, undangan yang datang cukup banyak, teman-teman satu barak dan seniorku di Angkatan Darat tak ada yang absen, semuanya hadir, sahabat-sahabatku sejak kecil pun lengkap. Tapi di tengah-tengah keramaian dan kemeriahan acara akad dan resepsi pernikahanku yang juga dimeriahkan dengan pertunjukan lenong “Pak Murah” sesungguhnya hatiku merasa sedih, karena ayah tercinta meninggal tepat sehari sebelum acara ini berlangsung.
Sebetulnya aku ingin mengundur acara pernikahanku, tapi sesaat sebelum meninggal ayah berwasiat kepada seluruh keluarga untuk tidak menunda acara pernikahanku, supaya dia bisa tenang katanya.
Banyak tamu-tamu yang tidak berasal dari lingkungan sekitar rumahku tidak tahu bahwa ayah sudah meninggal kemarin. Hanya orang-orang terdekat di keluargaku dan keluarga Ros yang tahu kalau ayah sudah meninggal. Dan mereka semua berusaha memancarkan wajah gembira walaupun hatinya sedang bersedih, termasuk aku, Ros, ibu dan adik-adikku. Tapi akulah yang paling bersedih hari itu, karena ayah tidak ada di sampingku di hari pernikahanku.
Pontianak, 22 Maret 1962
Aku sedang dalam penugasan, sudah tiga minggu aku tidak bertemu dengan Ros. Hanya bertemu lewat surat, yang kukirim tiap hari.
Dalam beberapa suratnya terakhirnya dia bilang kalau dia sudah telat datang bulan, dan dari surat yang paling terakhir dia menyertakan hasil test di laboratorium rumah sakit tempatnya bekerja, yang menyatakan bahwa Ros sedang mengandung anakku yag pertama. Aku senang sekali, yang telah kutunggu selama lebih dari dua tahun akhirnya datang juga. Setelah komitmen untuk tidak punya anak selama dua tahun akibat pekerjaan dan karir Ros sebagai perawat di rumah sakit Angkatan Darat di Jakarta Pusat, serta penugasanku keluar kota yang semakin sering, akhirnya Ros hamil. Hati ku sangat senang dibuatnya. Khayalanku melayang dan sadar akan menjadi seorang ayah membuat aku lompat kegirangan dalam kamar mess.
Banda Aceh, 10 Juli 1962
Ros keguguran. Aku sangat terpukul, remuk rasanya hatiku mendapat kabar lewat telegram yang dikirim adik iparku yang mengatakan Ros keguguran. Dikamar mess aku tak sanggup lagi bergerak, untuk bernafas pun rasanya sulit.
Jakarta, 5 Agustus 1969
Sudah satu bulan ini aku dan Ros sering berselisih. Kami berdua jadi mudah naik pitam. Hampir tiap hari kami adu mulut bahkan sampai memutuskan untuk pisah ranjang. Dengan alasan untuk menenangkan diri. Kebetulan , dua hari lagi aku tugas ke Medan. Dan aku berharap dengan terpisahnya kami untuk sementara akan membuat aku dan Ros dapat berpikir dengan jernih dan tidak terburu-buru mengambil keputusan.
21 September 2004
Ros baru saja pulang dari pasar membeli bahan-bahan makanan untuk catering pesanan sebuah perusahaan yang mengadakan pertemuan di hotel dekat rumah kami. Tidak seperti biasanya, aku tidak bisa mengantar dia ke pasar, karena ada urusan dengan para pensiunan dalam kesatuanku dahulu.
Ros nampak kelelahan, mukanya pucat, entah apa yang terjadi padanya di pasar tadi. Aku tanya padanya apakah dia pergi ke pasar sendirian, dan dia menjawab tidak. Dia bilang kalau dia ditemani oleh Yanti, anak tetangga yang sudah seperti anak kami. Aku tenang setelah mendengar bahwa Ros mengajak Yanti bersamanya. Lalu aku masuk ruang kerjaku, untuk melanjutkan menulis novel yang sebentar lagi akan selesai. Tak lama, terdengar suara Yanti berteriak. Aku hampiri suara tersebut. Betapa kagetnya aku ketika melihat Ros sudah tegeletak di lantai dapur. Segera kuambil kunci mobil dan kusuruh Yanti memanggil beberapa tetangga untuk membantu mengangkat Ros ke dalam mobil. Setelah para tetangga datang, kami segera mengangkat Ros kedalam mobil lalu membawanya ke rumah sakit terdekat.
Ros terkena Stroke, itu yang kudengar dari Dokter.
Mulai hari ini Ros terbaring tak berdaya di pembaringan rumah sakit.
Koma.
24 October 2004
Sudah satu bulan Ros terbaring di pembaringan rumah sakit. Tidak menunjukkan perkembangan berarti. Hampir setiap hari aku menemani Ros yang terbaring. Aku akan hanya pergi jika mengurus obat dan administrasi rumah sakit, Yanti pasti menggantikanku jika aku tidak bisa menemani Ros. Aku hampir bosan menanti kembalinya Ros dari koma. Tuhan sudah berkali-kali aku datangi dalam shalatku, doaku pun tidak pernah putus. Tapi tak ada perubahan berarti. Harapanku sudah menipis. Asaku semakin lemah.
28 Desember 2004
Lebih tiga bulan sudah aku menunggu Ros kembali dari tidur nyenyaknya. Lagi-lagi tak ada perkembangan yang berarti, hanya jempol kakinya yang terlihat goyang-goyang.
Aku bingung, aku takut akan kehilangan Ros, cuma dia yang ada untuk menemani hidupku. Perjalanan panjangku penuh dengan suka dan duka bersama dia. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melewati masa tuaku tanpa dia ada di sampingku. Aku tidak punya anak. Hanya tetangga yang sedikit peduli. Tanpa Ros aku takkan kuat kukira.
Tuhan Aku kira aku tak sanggup untuk menunggu lebih lama lagi. Tak ada harapan bagiku untuk tetap menunggu Ros yang sudah setengah kau ambil. Aku harap melalui tali ini aku bisa meninggalkan dunia fana ini dan bertemu dengan Ros di alam sana. Maaf kan aku Tuhan…
28 Desember 2005
Argha sudah hampir satu tahun meninggalkan aku. Aku tahu dia sangat merindukanku, setelah tiga bulan lebih aku membiarkannya menungguku. Tapi sekarang aku yang lebih merindukannya.
Alhamdulillah Yanti diizinkan oleh orang tuanya untuk tinggal bersamaku yang tidak jauh dari rumah orang tuanya.
Argha kini hanya bisa kupandang lewat foto-fotonya. Novelnya tak terselesaikan.
Tunggu aku di sana Argha. Akan kulanjutkan amanah Tuhan sebelum ku temukan dirimu.
Posted by Ksatria Petir at 12:06 PM 0 comments
Catatan Menjelang Ajal
Pagi Menjelang Mati
Aku masih bisa menghirup udara dengan bebas, sampai kamu datang dan meludahiku dengan kata-kata manismu. Aku juga masih bisa melihat dengan jelas semua yang ada di sekitarku sejak ku buka kelopak mataku hingga kamu datang dan menutup pandangku. Sayang, aku tidak pernah menyesali semua, aku juga tak pernah marah, karena di hatiku masih berkuasa cinta.
Pagi ini aku masih harus menjual suaraku, setidaknya aku harus punya cukup tenaga untuk menaiki tangga baja jembatan penyebrangan. Dan yang paling panting aku harus punya cukup tenaga untuk lompat dan membanting badanku ke aspal.
Siang Menjelang Mati
Suaraku lumayan laku terjual, walaupun hasilnya tak sebanyak dua minggu lalu, tapi ini semua sudah cukup untuk mengisi tenaga, bahkan masih lebih.
Siang ini adalah siang yang baik buatku, penghasilanku hari ini adalah yang terbaik dari empat belas hari terakhir.
Tuhan masih baik padaku, padahal aku akan mengingkariNya lagi sore ini. Aku sempat terpikir untuk membatalkan niatku menjemput ajal. Tapi, masalahku terlalu berat untuk aku tahan sendiri. Aku sering mendengar bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Aku juga sudah sering kali merenungi kata-kata itu, tapi nampaknya aku terlalu lemah untuk menghadapi ujian yang Dia turunkan padaku.
3 Jam Menjelang Mati
Aku baru saja selesai mengisi perutku diwarung pinggir jalan yang sebetulnya tidak sehat. Nasi ditemani tempe, perkedel, kerang dan sambal terasi menjadi penghuni terakhir perutku, ditambah lagi segelas kopi yang sedang kuhabiskan sambil melepas lelah dan melamun menatap mobil-mobil mewah yang lewat.
Baru saja akan ku raih teguk terakhir dari kopi ku, tiba-tiba seseorang yang lewat menabrakku. Gelasku terjatuh, dan kopi tegukan terakhirku meresap kedalam tanah. Aku marah, tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk ekspresikan marahku, tak ada nyali mungkin. Hanya geraman kecil yang tidak terlalu diperhatikan manusia-manusia di sekitarku.
1½ Jam Menjelang Mati
Bis AC jurusan Blok M sangat sepi, suaraku terbuang sia-sia. Hanya ada sembilan orang di dalam bis. Tempat terakhir aku melepas suara, mungkin sebelum Blok M aku sudah harus menjemput ajalku yang telah ku nanti sepanjang hari ini.
Aku masih duduk di deretan kursi belakang bis terakhir ini, merenungi dosa-dosa yang telah ku lewati tanpa tertebus. Ditambah dosa besar yang akan kulakukan sebentar lagi. Maafkan aku ya Tuhan, aku berniat menjemput ajal sebelum dia menjemputku. Tapi aku yakin ya Tuhan, bahwa semua itu tak pernah lepas dari kehendakmu.
Tak sadar air mata menngalir melalui pipiku, dan orang-orang disekitarku mulai kelihatan tidak nyaman dengan keberadaanku disitu. Mungkin aku dianggapnya orang aneh. Tak menunggu lama, aku segera turun sesaat bis itu berhenti.
60 Menit Menjelang Mati
Sebuah halte kumuh di depan gedung mewah, dan tepat di seberangnya, di tengah dua jalur, sebuah halte lumayan mewah dijaga ketat. Aku lihat orang-orang di dalamnya tidak saling peduli satu sama lain.
Aku duduk di halte kumuh depan gedung mewah itu. Aku kilas balik semua masalahku yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Aku akan terbebas dari masalah-masalahku. Tak perlu ada yang kusedihkan dan bersedih untukku, karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku naik ke jembatan baja yang tak jauh dari halte tempatku duduk tadi. Aku sudah bersiap untuk lompat, tekadku bulat, tak akan ada yang bisa menghalangiku.
30 Menit Menjelang Mati
Aku sudah di atas jembatan siap untuk menyambut ajal, tapi ketika aku memegang pagar pengamannya, tanganku tiba-tiba menjadi dingin. Suara hatiku terdengar jelas sekali. “Apakah kau yakin ingin menyambut ajalmu sebelum takdir? Tahukah kau bahwa ini dosa besar? Jangan lakukan?”. Akupun melepaskan peganganku pada pagar pengaman jembatan itu. Lalu duduk bersandar disebelah gitarku. “Aku yakin, akan meninggalkan masalah-masalahku dengan menjemput ajal lebih dahulu. Aku tahu ini dosa besar, tapi ini harus kulakukan. Aku kemudian bangun lagi dan bersiap lompat untuk yang kedua kalinya. Aku pegang lagi pagar pengaman jembatan. Tanganku kembali dingin dan sekarang tambah gemetar. Suara hatiku terdengar lagi, “Lakukanlah. Apakah kau cukup punya nyali untuk lompat? Lompatlah, raihlah ajalmu, buktikan kebodohan dan ketolololanmu.” Aku agak gentar, tapi aku yakin inilah saatnya untuk menghentikan hidupku yang bermasalah. Aku ambil ancang-ancang lalu lompat dengan gitar ditanganku. “Aku tidak Bodooooooooooooooooohhhhh…………………………………………….”
Rizki Pradana
26 January, 2005
Jakarta.
Posted by Ksatria Petir at 12:03 PM 1 comments
Siklus Air Milennium
Kepulan asap racun
Perlahan terbang ke atas
Bersatu dengan awan
Awan kemudian bersatu
Larut dalam hujan
Dan mengalir dalam bumi
Menuju sumur-sumur kehidupan manusia
Dan jatuh kedalam kerongkongan Lalu…
14 januari 2002
T 57
Cililitan – BlokM
Posted by Ksatria Petir at 11:55 AM 0 comments
Labels: Puisi
I,II dan III
I.Segalanya berubah dengan cepat, tak hanya berubah, tapi juga berlalu, lewat tak berbekas. Sepi sendiri berlalu tanpa perih, diam hanya menyayat jiwa. Ketertawan atas perih selalu buat aku termenung dalam sepi. Duduk pun seakan hanya menanti diri untuk bisa teriak, tapi sungguh tuli telinga hatinya. Aku telah teriak bagai membuang perih, namun dalam hati, karena takut raga ini tak kuat, lalu mati ditikam perih. Perasaan mati, hilang tak berbekas, sepi!!!
II.Senyum dari bibirmu rekahkan jiwa, sejukkan panas dalam hati, walau hebatnya perih aku bisa tersenyum nikmat. Entah mungkin aku gila. Sakit hatiku bisa terobati oleh senyum. Sungguh luar biasa atau aneh. Yang ku tahu adalah yang kurasakan. Dan jika memang harus seperti itu, aku hanya bisa syukuri nikmat Tuhan dengan senyuman. Dan setiap kali sakit datang, aku hanya bisa merinti dan mengeluh dalam hati. Karena hanya tawa dan senyuman terlukis diwajah. Namun terkadang tangis keluar diwajah, tanpa rintihan diawal.
III.Penat ada dikepala resahkan jiwa buatku berputar dalam pekat. Sepi menanti sukmaku yang melayang diluar raga. Saksikan kebodohan-kebodohan manusiawi yang dilakukan raga. Hari terus berlalu dan berganti hitam, melalui kuning dan jingga diwarna langit. Perih cahayanya bagai menusuk mata yang menatap dalam tangis. Aku menanti perih dalam cinta atau menanti cinta dalam perih ? andai ada nikmat walau setitik, pasti bisa tutupi perih yang meniti hari demi cinta.
25 Juli 002Salemba – CCF
Posted by Ksatria Petir at 11:45 AM 1 comments
Labels: Puisi
Monday, August 22, 2005
Raih CintaMu
Kenapa kantuk yang kujelang?
Saat coba raih cinta Mu
O… yang Maha Hidup
Turunkan kuasa Mu
Hidupilah hatiku
Senantiasa hanya untuk Mu.
Cintaku masih untuk Mu
Walau ku menyayangi hambamu yang jelita
Tetap satu untuk Mu
Wahai Cintaku
Cintailah aku
Maha Pecinta
Berikanlah cinta Mu
Walau hamba Mu yang jelita tak mencinta
Tetap satu untuk Mu dan dia
Cintaku
Sayangi manusia
Untuk raih cinta Mu
Wahai Maha Pecinta
Meski kantuk yang kau berikan
Aku bersungguh ingin raih cinta Mu
Dan aku pasti bertahan.
Masjid Mawar
Posted by Ksatria Petir at 8:01 PM 0 comments
Labels: Puisi
Berkati Mereka
Dalam sepi aku berteriak
jika nafas ini tak berhenti
Dalam gelap aku memandang
Jika jiwa ini tak pergi lagi
Dalam sakit aku berontak
Jika raga ini mengizinkan
Tuhan berkatilah mereka meninggalkanku dalam sepi
Tuhan datangkanlah petunjuk
bagi mereka yang mengurungku dalam gelap
Tuhan turunkan rahmat Mu
bagi yang menyakitiku
dalam gelap dan sepi.
dan Tuhan biarkan mereka mendahuluiku menghadapMU
11 Januari 2002
Posted by Ksatria Petir at 8:00 PM 0 comments
Labels: Puisi
Mati untuk Hidup II
Jika saja Sang Cinta dapat memelukku saat menjelang hancur penjaraku, pasti aku akan senang.
namun penjara ini baru saja di perbaharui dengan ramuan cinta fana dari kekasih dunia.
Manusia, Jasad dan Ruh, dan aku adalah Ruh yang terpenjara dalam jasad.
Jika Jasad ini mati, habis sudah masa tahanan ku di dunia dan aku akan terbang melintasi dunia fana menuju keabadian.
Cinta akan membuatku kuat untuk melintasi dunia fana dan meraih pelukan SANG CINTA.
Posted by Ksatria Petir at 7:59 PM 1 comments
Labels: Puisi
Mati Untuk Hidup
Menjelang mati nanti, aku ingin merasakan pelukan hangat Cinta Mu di tubuhku, yang akan menghantarkan jiwaku kepada kehidupan ku yang lain dia atas kehidipuan fana ini. aku akan lakukan segala yang membuatMu akan memelukku dan membawaku bersamaMu menuju duniaMu yang Abadi...
sesungguhnya kematianku ini akan membawaku kepada sebuah kehidupan yang tak terbayangkan oleh pecinta sekalipun.
Jiwaku akan terbang meninggalkan penjara yang telah hancur dimakan oleh usia, penyakit dan dosa. aku akan menemukan Cinta ku yang selalu menuntunkun atas setiap langkahku, langkah kanan dan langkah kiriku.
Manusia, jasad dan ruh, aku adalah Ruh, dan jasadku adalah penjara, tempat aku menjalani hukuman menikmati kesengsaraan dalam hidup fana hingga jasad hancur.
Aku adalah Ruh.....
Aku adalah Ruh.....
Aku adalah Ruh.....
Posted by Ksatria Petir at 7:57 PM 0 comments
Labels: Puisi
Aku Manusia
Baru saja aku bangun dari tidur panjangku, dan sadar bahwa diriku ini adalah manusia seperti para gembel, pengemis, gelandangan, tukang beling, presiden, menteri, ketua dpr, dan rakyat palestina.
Tersadar dari kekhilafan yang mengunciku dalam dunia kecil yang bernama egoisme, tempat dimana manusia bukan manusia, tempat dimana aku adalah yang terkejam.
Kegelapan sejati dalam terang yang semu, yang menguasai jiwa ku dalam raga fana, penuh hina.
Sekarang aku menapaki dunia ku yang penuh cahaya sejati dalam kegelapan semu milik Tuhan semesta alam. Aku adalah bagian dariNya yang menjadi utusan di Bumi sebagai pemimpin seperti Adam, Daud dan Muhammad. Manusia yang tersadarkan oleh cahaya Tuhan dan bukan malaikat yang penuh kesempurnaan dalam tugas abadinya melayani Tuhan.
Aku adalah manusia biasa, Khalifah Bumi utusan Tuhan.
Posted by Ksatria Petir at 7:52 PM 2 comments
Labels: Puisi